BALI memang dikenal memiliki adat istiadat yang beraneka ragam. Adat istiadat yang dominan bernafaskan Hindu tersebut menyimpan berbagai upacara keagamaan, mulai dari dewa yadnya, pitra yadnya, manusia yadnya, hingga buta yadnya. Di Bali timur (Karangasem), upacara-upacara keagamaan itu masih sangat kental dan masyarakat pun sangat antusias melakoninya.
Dalam setiap prosesi upacara keagamaan senantiasa disertai dengan kegiatan makan bersama alias magibung. Kenapa harus magibung dan kenapa tidak menggunakan pola makan prasmanan atau makan jalan? Jawaban atas pertanyaan ini tiada lain bahwa masyarakat di sana masih berpegang teguh pada tradisi yang diwarisi secara turun temurun.
Karakteristik kegiatan magibung yang cukup menonjol dan dijumpai di sebuah desa tua, Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, seperti (1) penyiapan makanan dilakukan secara bersama-sama, (2) makanan yang dijadikan gibungan bahannya bersumber dari daging, kelapa, dedaunan, dan nasi putih, dan (3) satu porsi gibungan dimakan atau disantap oleh delapan orang.
Paket gibungan yang hendak disuguhkan kepada tamu dan di lingkungan mereka sendiri, dikerjakan secara gotong royong penuh dengan rasa kekeluargaan. Jika pihak penyelenggara memperkirakan tamu-tamunya yang akan datang dalam jumlah besar, maka tempat pengerjaan paket gibungan dilakukan di balai banjar. Sebaliknya, jika tamunya sedikit, cukup dikerjakan di rumah bersangkutan.
Antara pria dan wanita sudah terdapat perbedaan tugas. Yang pria mengerjakan paket gibungan seperti membuat sate, lawar, dan urab-uraban. Mereka yang membantu di balai banjar sudah berdatangan sekitar pukul 01.00 dini hari. Pekerjaan diawali dengan membuat bumbu-bumbu sate dan lawar, kemudian dilanjutkan dengan memotong babi, dan proses ini berlanjut hingga pekerjaan selesai sekitar pukul 06.00, berbentuk paket gibungan yang siap saji dan siap santap.
Lalu, apa pekerjaan ibu-ibu dan remaja putri? Mereka sibuk memasak nasi sebagai kelengkapan gibungan. Di samping itu ada tugas tambahan seperti penyediakan minuman; kopi, teh, di saat kaum prianya bekerja di balai banjar. Pokoknya, seperti semboyan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), “Bersama kita bisa”.
Bermacam Unsur
Bahan-bahan yang dipakai membuat gibungan terdiri atas daging babi, bisa juga dilengkapi dengan ayam atau dolong alias kuir, kelapa dipakai untuk membuat lawar dan urab-uraban, dedaunan semisal dan belimbing, dan yang tak kalah penting adalah nasi putih.
Dengan bahan-bahan itu, dalam gibungan jelas akan terlihat bermacam-macam unsur seperti sate lilit, sate pusut, sate asem atau sate tusuk, lawar merah dan putih, urab-uraban, urutan, hingga kuah penyedap makanan yang biasanya terdiri atas kuah komoh maupun kuah timbungan. Aroma magibung akan tampak semakin nikmat jika ditambah dengan tuak — minuman khas Karangasem.
Satu paket gibungan — masyarakat setempat menyebutnya karangan — disantap atau dimakan secara bersama-sama oleh delapan orang. Masyarakat setempat menyebutnya satu sele atau asele. Mereka ini bisa orang dewasa dan bisa pula gabungan dengan anak-anak. Yang laki-laki ngumpul dengan laki-laki, perempuan ngumpul bersama perempuan. Ketentuan delapan orang dikaitkan dengan bobot porsi gibungan yang sedang mereka hadapi. Jika kebetulan jumlah orang kurang dari delapan, hal itu bisa dibijaksanai.
Dari serangkaian prosesi upacara atau yadnya, tampaknya kegiatan yang terakhir inilah yang paling ditunggu-tunggu para tamu yang datang termasuk saudara dan sanak familinya. Di kalangan anak-anak, magibung benar-benar dirasakan sebagai berkah dan menjadi kesenangan tersendiri. Maklum yang namanya anak-anak pasti suka dengan yang enak-enak. Waktu acara magibung biasanya berlangsung siang hari, namun belakangan sering lebih pagi, di bawah pukul 11.00. Beberapa pertimbangannya, satu di antaranya menghindari agar makanan yang lezat tersebut tidak cepat basi.
Tahu Aturan
Yang menarik dari kegiatan magibung ini bahwa setiap orang seperti sudah sama-sama tahu aturan mainnya sehingga tidak terlihat rebutan dalam mengambil makanan yang ditaruh di atas dulang atau di atas kelatkat — tempat makanan terbuat dari serpihan bambu. Seberapa banyak lawar yang diambil dan seberapa besar daging, sate dan nasi yang dimakan, satu sama lain berada pada koridor dan komposisi yang teratur. Akhirnya mereka sama-sama puas, perut kenyang kembali ke rumah masing-masing.
Magibung merupakan sesuatu yang sangat mengasyikkan, tidak saja bagi anak-anak tapi juga bagi remaja dan orang dewasa. Bagi masyarakat setempat, kegiatan ini sudah dianggap biasa karena terlalu sering mengalaminya. Namun yang agak bermasalah biasanya orang luar Karangasem ketika mereka diajak magibung. Meski jumlah mereka dibijaksanai hanya empat orang, namun masih terlihat agak canggung dan merasa susah melakukannya. Sehingga, begitu acara magibung usai, mereka pun tidak merasakan kepuasan sebagaimana menggunakan tata cara makan yang lain semisal berbentuk prasmanan.
Bagi orang Buleleng yang kebetulan bekerja di Karangasem, misalnya sebagai guru atau karyawan sebuah instansi, pada umumnya agak mudah beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan adat setempat. Gejala ini diduga karena orang-orang Buleleng pada umumnya bersifat terbuka, mudah berkawan dan mencari kawan. Mereka, ketika menghadiri upacara keagamaan dan diajak magibung, pada awalnya memang ada rasa sedikit canggung. Tetapi setelah berjalan dua atau tiga kali, mereka malah menjadi ketagihan.
Informasi seperti ini sekurang-kurangnya diperoleh dari seorang tokoh desa pakraman Bungaya, Gede Sabantara (49), lewat perbincangan singkat baru-baru ini di sebuah balai banjar yang dijadikan tempat magibung. Menurutnya, saat ini cukup banyak orang perantauan yang berada di daerah Karangasem, tapi masih cukup banyak pula yang belum adaptif dengan budaya magibung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar