Selasa, 30 November 2010

Asal-Usul Wayang Kulit di Bali

    Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli dan masih belum ada kesepakatan apakah Wayang Kulit memang asli Indonesia, dari India ataupun dari negara lain. Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan Wayang Kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 ( 896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang (baca : Serba Neka Wayang Kulit Bali, 1975).
Sejak masa lampau pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.
Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni perwayangan di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang pria.
Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi : dalang, pengiring dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125 - 130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).
Kiranya belumlah lengkap jika pembahasan mengenai seni pewayangan Bali tidak dilengkapi dengan adanya beberapa usaha inovasi dan kreatif dari para seniman dalang di pulau ini, atau memalui kerja patungan atau kolaborasi dengan seniman luar atau asing. Dalam usahanya memberikan nafas baru dalam wayang Parwa, dalang I Made Sidja atau Ida Bagus Ngur (Buduk) memasukan gamelan Suling atau Pegambuhan. Belakangan ini dalang muda berbakat, Ida bagus Sudiksaberkali-kali mementaskan wayang kulit Parwa dengan iringan gamelan Angklung lengkap, bahkan pernah dengan gamelan Balaganjur. Sebagai sajian tugas akhir, baik untuk menyelesaikan program Seniman (setingkat Sarjana) pada jurusan Seni Pedalangan di STSI Denpasar, para mahasiswa juga telah melakukan berbagai percobaan. Misalnya:
  • Penggunaan layar lebar berganda.
  • penggunaan tata-lampu modern, seperti lampu strobo, spot-lights, dan sebagainya.
  • pemakaian overhead-projector untuk menciptakan citra-citra realistis sebagai latar belakang.
  • pemakaian pemain wayang dalam jumlah yang banyak dengan satu orang dalang sebagai narator.
  • pemakaian wayang golek besar.
  • dan lain sebagainya.
Kesemuanya merupakan wujud nyata dari usaha para seniman dalang muda untuk terus menyegarkan kehidupan seni Pewayangan di Bali.
Dalam hal iringan, gamelan Selonding dan Selukat juga telah dicoba untuk mengiringi pertunjukan wayang Bali. Masih merupakan bagian dari perkembangan wayang kulit Bali adalah wayang Listrik yang merupakan hasil kerja patungan antara seniman (I Made Sidja, I Nyoman Catra, Desak Suarti Laksmi) dengan seniman dalang Larry Reed dari San Francisco, Amerika Serikat, yang didukung oleh Gamelan  Sekar Jaya di bawah asuhan komposer muda, I Dewa Bratha. Nama ini diberikan berdasarkan kenyataan bahwa dalam pertunjukannya terdapat perpaduan dua unsur pen

Nardayana, Dalang Inovatif Cenk Blonk

Ia terlahir dari keluarga petani miskin dan tak punya leluhur berdarah seni mendalang wayang kulit. Namun, keuletan belajar dan kecintaan terhadap seni mengantarkannya menjadi dalang wayang kulit bali. Ia sukses dan populer sejak 15 tahun lalu dengan sebutan dalang inovatif Cenk Blonk. Dialah I Wayan Nardayana. 


Pria ini dikenal karena pertunjukan wayang kulitnya memasukkan lelucon serta obrolan ceplas-ceplos segar dan aktual di sela pertunjukannya. Sejak tahun 2002, ia terus memodifikasi pentas wayang kulitnya dengan permainan lampu warna-warni serta berbagai suara untuk mendukung cerita. 

Bahkan, ia membawa sekitar 50 kru dan satu generator listrik berkekuatan 7.000 watt setiap kali mentas. Layar yang dia gunakan tak biasa, 6 meter dan tinggi 1,5 meter. 

Maka, meski pertunjukannya tidak semalam suntuk—hanya dua setengah jam— kemunculan wayang Cenk Blonk serasa angin segar di antara pementasan seni yang sepi ide. Penonton pun bisa membeludak. 

Kemasan pencahayaan yang apik, disertai lelucon hingga obrolan ceplas-ceplos ala rakyat, menjadikan penonton berusia tua dan generasi muda tak beranjak selama pertunjukan. Nardayana menyisipkan lelucon segar dan kritik sosial melalui tokoh rakyat Nang Klenceng dan Nang Eblong. Kedua tokoh itu punya bentuk lucu, dari kepalanya yang botak dan berkucir, serta gigi tonggos. Kedua tokoh yang dia mainkan inilah yang membuat Nardayana dikenal sebagai dalang Cenk Blonk. 

Awal pentas tahun 1992, Nardayana menggunakan nama kelompoknya, Gita Loka. Tiga tahun kemudian ia menggunakan nama Cenk Blonk hingga kini. 

Tiyang (saya) tidak sengaja, sebelum mentas mendengar obrolan beberapa orang sambil menunggu pertunjukan mengatakan wayang Cenk Blonk mau mulai, ayo cepat cari tempat. Tiyangtertarik dan mengganti Gita Loka menjadi wayang Cenk Blonk,” kata Nardayana di rumahnya, Desa Belayu, sekitar 40 kilometer dari Denpasar. 

Penggunaan huruf K menggantikan G pada Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Eblong (Blonk), lanjut Nardayana, agar terkesan lebih gaul. Lagi-lagi ini juga menjadi bagian cara menarik penonton. Apalagi, saat itu ia belum berinovasi dengan tata pencahayaan warna-warni. 

”Setiap hari, tiyang memperbarui bahan guyonan atau kritik sesuai tren berita-berita di media massa atau masyarakat sekitar Bali. Tiyang tetap perlu memerhatikan siapa saja penonton saat pertunjukan. Ya, biar nyambung dengan penontonnya dan mereka terhibur,” ujarnya.


Berawal dari kesedihan 
Kepiawaian mendalang berawal dari kesedihan Nardayana terhadap sebagian masyarakat yang meninggalkan pertunjukan seni wayang kulit. Sekitar tahun 1989 dia bertekad mengembalikannya. 

Saat itu, ia masih bekerja sebagai tukang parkir di salah satu pusat perbelanjaan. Sepulang bekerja, Nardayana mendapati pertunjukan wayang kulit yang sepi penonton. Ia langsung memilih meninggalkan pekerjaannya untuk belajar seni pedalangan. 

Dia mencari tetangganya yang membuat wayang dan dalang. Tiga tahun kemudian, Nardayana pentas perdana di Pura Parungan, Tabanan. Ia dibayar sekitar Rp 250.000 untuk sekali pentas dengan layar 2 x 1 meter. Dia hanya mengajak beberapa orang penabuh gamelan. 

Ketertarikan terhadap kesenian sebenarnya sudah ditunjukkan sejak di bangku SMA. ”Kala itu
tiyang dibayar Rp 2.500 setiap pentas topeng untuk acara adat di sekitar rumah,” tuturnya. 

Setelah pentas berkeliling dan terus berinovasi dengan tata lampu, ia lalu dibayar sekitar Rp 10 juta setiap kali pentas. Dia mampu 
manggung lebih dari tiga kali dalam sehari mengingat waktu pentas hanya dua setengah jam lamanya. Sebulan, ia mampu pentas di lebih dari 40 lokasi. 

”Tetapi 
tiyang juga bisa tidak dibayar jika masyarakat yang meminta tak punya uang. Apalagi, mereka yang punya kaul,” ujarnya. Bagi Nardayana, inovasi pewayangan dengan tata cahaya berwarna tidak merusak tatanan yang ada. Bahkan, hal itu memperkaya seni wayang. 

”Menurut 
tiyang, budaya bisa berubah setiap saat. Tetapi, ini tidak berlaku pada spiritualnya.Tiyang memang mengubah penampilan, tetapi tidak mengubah spiritualnya,” katanya. 

Tak sedikit orang, termasuk kalangan seniman, sempat memusuhinya karena Nardayana dinilai merusak pakem pewayangan. Namun, ia tutup telinga dan terus berkarya. Bahkan, dia memperkaya ilmu otodidaknya dengan kembali ke bangku kuliah yang sempat ditinggalkannya karena tak ada biaya. 

Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dipilihnya sebagai penguat dan pengayaan idenya. Sementara spiritualnya, dia gali dalam kuliah S-2 di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. 

”Saya ingin terus belajar dan berencana mengambil S-3,” ujar Nardayana. 

Sayangnya, ketika 
Kompas berkunjung ke rumahnya di Belayu, Nardayana tidak mengizinkan mengambil gambar wayang Cenk dan Blonk miliknya, meski ia mengaku memiliki enam keropak atau kotak berisi tokoh wayang lengkap. 

”Maaf, 
tiyang menghargai sekali wayang-wayang ini. Oleh karena itu, tiyang tidak bisa sembarangan mengeluarkannya jika tidak ada kepentingan langsung untuk pentas atau upacara.”

Namun, kata Nardayana membesarkan hati, jika ingin melihat pementasannya, di pasaran sudah beredar enam albumnya berupa VCD berbahasa Bali dan bahasa Indonesia. 

”Wah, kalau tiyang tidak belajar bahasa selain bahasa Bali, wayang tidak akan bisa maju. Ini pertunjukan seni yang seharusnya bisa dinikmati siapa saja dan datang dari suku atau negara mana pun. Oleh karena itu, 
tiyang pun tak puas sampai di sini. Inovasi harus jalan terus dan berkembang. Jika tidak, tiyang dan wayang ditinggalkan masyarakat. Tiyang tidak mau itu terjadi,” Nardayana menegaskan.

Senin, 29 November 2010

Gebug Ende

Musim kemarau kala itu, di Desa Seraya Karangasem belum berakhir. Hujan yang dinanti-nanti belum juga menunjukkan tanda akan turun. Bagi masyarakat Desa Seraya, Karangsem kondisi ini sangat tidak menguntungkan.Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan meski berada pada daerah kering. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.
Dari hasil paruman desa, tercetuslah untuk kembali melaksanakan ritual memohon turun hujan di desa mereka yakni Gebug Ende.Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebus Seraya. Kemungkinan,untuk mengingat desa unik yakni seraya ini.Gebud Ende hanya  dimainkan kaum pria baik dewasa maupun anak-anak.
Gebug Ende  berasal dari kata gebug dan ende. Gebug artinya adalah memukul dan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5  hingga 2 meter. Sedangkan alat untuk menangkisnya disebut denga Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran. 
Diceritakan Jaman dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan jiwa dan semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini. Disesuaikan perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun temurun dapat kita saksikan hingga kini. Tombak Pedang dan Tameng yang digunakan jaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan Ende. Seperti terlihat sore itu sejak pukul 15.00 di lapangan Merajan, Seraya Barat telah memadati areal lapangan desa tersebut untuk menyaksikan dari dekat permainan yang menguji nyali ini. Anak-anak hingga dewasa tampak bersuka ria menanti permaianan ini.  Menariknya atraksi ini memberikan  membuat penonton pun  dari luar desa datang meramaikannya.
Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar. Tidak ada ukuran yang pasti untuk  menentukan areal ini disesuaikan degan kondisi areal saja.Sementara Untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan pun dibatasi dengan pembatasa yakni tali.Para juru banten pun melakukan ritual permohonan berkat agar permaianan gebug ende ini dapat memberikan keberhasilan dan kemakmuran bagi krama seraya.
Setelah persiapan rampung akhirnya permainan pun segera dilangsungkan. pembukaan diawali dengan ucapan selamat datang bagi para pemain dan penonton. Selain ituterselip juga pembekalan bagi pemain utnuk selalu mengedepankan kejujuran dan sportivitas. Suara tetabuhan menyemarakkan permainan. Seorang wasit yang disebut Saya (baca: saye)  Memimpin pertandingan. Mereka inilah yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.
Sebelum pertandingan mulai saye (wasit) terlebih dahulu pun memperagakan tarian gebug ende dan bagian bagian yang tidak dapat dikenai pukulan.
Di tengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang membagi lapangan menjadi dua bagian. Kali pertama diawali dengan kelompok anak anak.  Tidak tampak rasa ketakutan pada tubuh kecil itu. Ende dan  Rotan pun ditarikan. Riuh penonton memberikan semangat kepada mereka untuk memainkannya.
Bisa dibayangkan betapa sakitnya bekas cambukan rotan apabila tergores di  badan.  Usai kelompok anak anak, tibalah giliran pria dewasa. Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan gebug ende ini. Yang ada hanya kerasnya pukulan dan tangkisan. Rotanpun menghujam tubuh lawan namun tangkisan dari tamiang pun semakin kuat.  Pukulan dan Tangkisan  berlangsung sangat cepat. Sorak penonton semakin  menyemangati nurani tersebut.  Disini saye  mengawasi permainan harus sigap untuk segera melerai pemain.Nah..selain krama desa Seraya bagi warga lain yang berminat dapat  menjadi pemain.
Dipercaya hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Tidak ada waktu khusus  untuk menentukan selesainya pertandingan ini. Namun permainan dapat usai bilamana  satu pemain terdesak .Menurut Bendesa Pekraman Seraya, selain melestarikan tradisi turun temurun gebug ende adalah sebuah tarian suka cita penduduk desa seraya bertujuan memohon hujan kepada Pencipta Alam ini.  Selain itu unsur olahraga sangat ditekankan dalam permaianan ini yakni kekuatan fisik untuk melakukan pukulan dan tangkisa. Sebagai sebuah permainan tradisonal Gebug ende  telah dikenal hingga mancanegara. Pelestariannya pun harus dilakukan secara sinergi.

Perang Pandan

Sudah menjadi tradisi bagi Masyarakat Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, Kabupaten Karangasem, Bali menggelar kegiatan tradisi “perang pandan. Perang Pandan merupakan tradisi tahunan yang digelar dalam rangkaian upacara Ngusaba Desa, di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, sekitar 78 kilometer timur laut, Kota Denpasar. Acara ini akan digelar pada tanggal 30 Juli 2010 dan akan melibatkan puluhan pasang petarung dari dua kelompok yang saling berhadapan yang terdiri dari anak – anak, pemuda dan orangtua.
Perang Pandan ini akan berlangsung mulai pukul 13.00 siang, selama tiga jam, sebelum acara ritual ngusaba desa dimulai. Yang membuat unik dari perang ini adalah senjata yang dipakai, tidak berupa senjata tajam melainkan dengan daun pandan berduri yang di gunakan untuk melawan pada saat pertandingan. Perang Pandan diiringi oleh musik tradisional Bali sebagai penyemangat, karena semakin keras suara gamelan maka semakin semangat untuk menyerang lawan. Disamping itu juga perang ini diiringi lagu atau gending yang disebut dengan mekara –kara.
Dalam perang pandan ini setiap pertandingan dipimpin oleh seorang wasit yang bertugas untuk memimpin pertandingan tersebut. Setiap orang akan membawa satu ikat daun pandan berduri yang rata – rata terdiri dari 20 batang daun. Disamping itu setiap orang pun akan membawa tameng yang terbuat dari pohon ate yang dapat berfungsi untuk melindungi dari dari serangan musuh.
Bisa dibayangkan jika kulit tersebut kena pandan yang berduri, pasti akan keluar darah, tetapi meskipun demikian, mereka tetap saja berperang sebelum ada aba – aba berhenti. Mereka akan saling dorong dan saling berusaha untuk dapat menyentuh lawan dengan pandan berduri tersebut.
Setelah perang usai, yang tertinggal hanyalah korban yang bersimbah darah, tetapi sama sekali peristiwa ini tidak meninggalkan kesan permusuhan, malah masing – masing lawan saling membantu untuk memberi obat yang berupa daun sirih dan kunyit yang dibalurkan pada tubuh yang terluka.

Genjek

Bali memang selalu memunculkan ide-ide kreatif masyarakatnya. Bahkan kegiatan yang dianggap negatif pun dapat diambil nilai positifnya. Sebagian besar orang mungkin sudah mengenal music rap dimana orang mengeluarkan kata selayaknya orang bernyanyi. Hal yang sejenis dengan itu pun sudah berkembang di Bali cukup lama. Namun bedanya disini dilakukan dengan beberapa orang yang bersahut-sahutan. Kegiatan ini berkembang dan dikenal dengan istilah �'Genjek''.
Bermula dari acara kumpul-kumpul sambil minum arak dan tuak, beberapa orang yang sudah hilang kendali dalam artian mabuk, mereka mengeluarkan suara-suara yang tidak tentu dan akhirnya disahuti dengan yang lainnya. Kesan senang dan gembira terpancarkan dari cara mereka mengungkapkan kata-kata dengan berirama selayaknya sebuah laguu tersebut. Sebagian orang lainnya akan menirukan suara musik sebagai pelengkap dari genjek khususnya suara kendang dan kempul. Seni ini pada mulanya berkembang di daerah Bali bagian timur (Karangasem) dan selanjutnya dikenal ke seluruh bagian wilayah Bali lainnya. Bahkan di Bali utara sendiri seni ini terkadang dilengkapi dengan pementasan joged lengkap dengan alat musiknya yang dilakukan setelah para seniman Genjek selesai .
Jika diperhatikan, Genjek ini mirip dengan Janger. Perbedaannya terletak pada formalitas dalam membawakannya. Janger terkesan bersifat formal dan dilakukan oleh dua kelompok lelaki dan perempuan. Dengn pembawaan tembang yang masih dalam bahasa yang sangat halus disertai music dan tarian yang sudah diatur sedimikian rupa. Sedangkan Genjek lebih memakai bahasa sehari-hari yang seadanya. Namun keduanya sama-sama menyiratkan kegembiraan.
Seiring dengan berjalannya waktu, seni ini berkembang dan dilakukan oleh mereka yang tidak dalam pengaruh minuman tersebut. Kata-kata yang diperdengarkan pun semakin bervariasi yang diambil dari bahasa sehari-hari masyarakat seperti: perasaan jatuh cinta/kagum dengan seorang wanita, masalah pikiran yang dialami di kantor dan yang lainnya. Harapan seni ini nantinya bisa dijadikan sebagai ajang bercerita tanpa harus menyinggung orang lain dan utamanya tanpa minuman keras yang biasa menyertai.

Megibung


BALI memang dikenal memiliki adat istiadat yang beraneka ragam. Adat istiadat yang dominan bernafaskan Hindu tersebut menyimpan berbagai upacara keagamaan, mulai dari dewa yadnya, pitra yadnya, manusia yadnya, hingga buta yadnya. Di Bali timur (Karangasem), upacara-upacara keagamaan itu masih sangat kental dan masyarakat pun sangat antusias melakoninya.
Dalam setiap prosesi upacara keagamaan senantiasa disertai dengan kegiatan makan bersama alias magibung. Kenapa harus magibung dan kenapa tidak menggunakan pola makan prasmanan atau makan jalan? Jawaban atas pertanyaan ini tiada lain bahwa masyarakat di sana masih berpegang teguh pada tradisi yang diwarisi secara turun temurun.
Karakteristik kegiatan magibung yang cukup menonjol dan dijumpai di sebuah desa tua, Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, seperti (1) penyiapan makanan dilakukan secara bersama-sama, (2) makanan yang dijadikan gibungan bahannya bersumber dari daging, kelapa, dedaunan, dan nasi putih, dan (3) satu porsi gibungan dimakan atau disantap oleh delapan orang.
Paket gibungan yang hendak disuguhkan kepada tamu dan di lingkungan mereka sendiri, dikerjakan secara gotong royong penuh dengan rasa kekeluargaan. Jika pihak penyelenggara memperkirakan tamu-tamunya yang akan datang dalam jumlah besar, maka tempat pengerjaan paket gibungan dilakukan di balai banjar. Sebaliknya, jika tamunya sedikit, cukup dikerjakan di rumah bersangkutan.
Antara pria dan wanita sudah terdapat perbedaan tugas. Yang pria mengerjakan paket gibungan seperti membuat sate, lawar, dan urab-uraban. Mereka yang membantu di balai banjar sudah berdatangan sekitar pukul 01.00 dini hari. Pekerjaan diawali dengan membuat bumbu-bumbu sate dan lawar, kemudian dilanjutkan dengan memotong babi, dan proses ini berlanjut hingga pekerjaan selesai sekitar pukul 06.00, berbentuk paket gibungan yang siap saji dan siap santap.
Lalu, apa pekerjaan ibu-ibu dan remaja putri? Mereka sibuk memasak nasi sebagai kelengkapan gibungan. Di samping itu ada tugas tambahan seperti penyediakan minuman; kopi, teh, di saat kaum prianya bekerja di balai banjar. Pokoknya, seperti semboyan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), “Bersama kita bisa”.
Bermacam Unsur
Bahan-bahan yang dipakai membuat gibungan terdiri atas daging babi, bisa juga dilengkapi dengan ayam atau dolong alias kuir, kelapa dipakai untuk membuat lawar dan urab-uraban, dedaunan semisal dan belimbing, dan yang tak kalah penting adalah nasi putih.
Dengan bahan-bahan itu, dalam gibungan jelas akan terlihat bermacam-macam unsur seperti sate lilit, sate pusut, sate asem atau sate tusuk, lawar merah dan putih, urab-uraban, urutan, hingga kuah penyedap makanan yang biasanya terdiri atas kuah komoh maupun kuah timbungan. Aroma magibung akan tampak semakin nikmat jika ditambah dengan tuak — minuman khas Karangasem.
Satu paket gibungan — masyarakat setempat menyebutnya karangan — disantap atau dimakan secara bersama-sama oleh delapan orang. Masyarakat setempat menyebutnya satu sele atau asele. Mereka ini bisa orang dewasa dan bisa pula gabungan dengan anak-anak. Yang laki-laki ngumpul dengan laki-laki, perempuan ngumpul bersama perempuan. Ketentuan delapan orang dikaitkan dengan bobot porsi gibungan yang sedang mereka hadapi. Jika kebetulan jumlah orang kurang dari delapan, hal itu bisa dibijaksanai.
Dari serangkaian prosesi upacara atau yadnya, tampaknya kegiatan yang terakhir inilah yang paling ditunggu-tunggu para tamu yang datang termasuk saudara dan sanak familinya. Di kalangan anak-anak, magibung benar-benar dirasakan sebagai berkah dan menjadi kesenangan tersendiri. Maklum yang namanya anak-anak pasti suka dengan yang enak-enak. Waktu acara magibung biasanya berlangsung siang hari, namun belakangan sering lebih pagi, di bawah pukul 11.00. Beberapa pertimbangannya, satu di antaranya menghindari agar makanan yang lezat tersebut tidak cepat basi.
Tahu Aturan
Yang menarik dari kegiatan magibung ini bahwa setiap orang seperti sudah sama-sama tahu aturan mainnya sehingga tidak terlihat rebutan dalam mengambil makanan yang ditaruh di atas dulang atau di atas kelatkat — tempat makanan terbuat dari serpihan bambu. Seberapa banyak lawar yang diambil dan seberapa besar daging, sate dan nasi yang dimakan, satu sama lain berada pada koridor dan komposisi yang teratur. Akhirnya mereka sama-sama puas, perut kenyang kembali ke rumah masing-masing.
Magibung merupakan sesuatu yang sangat mengasyikkan, tidak saja bagi anak-anak tapi juga bagi remaja dan orang dewasa. Bagi masyarakat setempat, kegiatan ini sudah dianggap biasa karena terlalu sering mengalaminya. Namun yang agak bermasalah biasanya orang luar Karangasem ketika mereka diajak magibung. Meski jumlah mereka dibijaksanai hanya empat orang, namun masih terlihat agak canggung dan merasa susah melakukannya. Sehingga, begitu acara magibung usai, mereka pun tidak merasakan kepuasan sebagaimana menggunakan tata cara makan yang lain semisal berbentuk prasmanan.
Bagi orang Buleleng yang kebetulan bekerja di Karangasem, misalnya sebagai guru atau karyawan sebuah instansi, pada umumnya agak mudah beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan adat setempat. Gejala ini diduga karena orang-orang Buleleng pada umumnya bersifat terbuka, mudah berkawan dan mencari kawan. Mereka, ketika menghadiri upacara keagamaan dan diajak magibung, pada awalnya memang ada rasa sedikit canggung. Tetapi setelah berjalan dua atau tiga kali, mereka malah menjadi ketagihan.
Informasi seperti ini sekurang-kurangnya diperoleh dari seorang tokoh desa pakraman Bungaya, Gede Sabantara (49), lewat perbincangan singkat baru-baru ini di sebuah balai banjar yang dijadikan tempat magibung. Menurutnya, saat ini cukup banyak orang perantauan yang berada di daerah Karangasem, tapi masih cukup banyak pula yang belum adaptif dengan budaya magibung.